Masa pandemi adalah untuk pertama kalinya, sejak kami berkeluarga, bersama 24 jam berhari-hari, bahkan hitungan bulan di awal-awal. Sehingga ini lah masa-masa saat kami benar-benar baru melihat keutuhan diri kami tanpa jeda yang berarti. Sulit untuk menutupi bagian dari diri yang tak ingin ditampakkan.
Loh, bukankah memang demikian dalam keluarga?
Tidak juga. Setidaknya bagi yang salah satu atau keduanya bekerja. Apalagi di Jakarta. Setidaknya 12 jam suami istri terpisah, sehingga tak sepenuhnya melihat satu sama lain. Ada kepercayaan. Namun tak seutuhnya kelihatan.
Nah, di masa pandemi inilah, kesejatian kita terungkap. Adakah kita konsisten? Adakah kita moody? Adakah kita sabar? Adakah kita tekun? Adakah kita malas? Tak satu pun bisa kita tutupi. Tak heran, jika sempat ada berita bahwa ada sebagian pasangan yang jadi lebih sering bertengkar justru kala mereka lebih sering bertemu.
Alhamdulillah, itu tak terjadi pada kami. Yang ku temukan justru, hal-hal yang membuatku malu, sebab sebenarnya ia telah ada sejak dulu, namun baru ku sadari sekarang.
Begini ceritanya.
Sering ku berbagi dalam berbagai kelas, bahwa cinta dan benci itu soal fokus. Ya, tiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Kita membenci seseorang, karena kita terlalu sering fokus pada kekurangannya. Dan kita mencintai seseorang, karena kita fokus pada kelebihannya. Tapi setiap orang punya keduanya. Ini hanya soal kita memilih fokus pada yang mana.
Nah, istriku ini, ku amati banyak mengerjakan yang aku tak pernah memintanya. Ia kerjakan sepenuh hati. Ia memasak setiap hari, dengan kuaitas yang tinggi. Padahal jelas ia perlu bekerja pula. Anak ketiga kami pun masih amat menuntut perhatiannya. Belum lagi dua anak yang meski lebih dewasa tentu memerlukan sentuhan yang tak sedikit. Tentu ia punya kekurangan. Namun daftar kekurangan itu jadi tampak demikian sedikit, dan akhirnya menjadi tak berarti, ketika disandingkan dengan kelebihannya. Kekurangan itu ada. Nyata. Tapi toh jadi tak seberapa. Sungguh tak rela aku pada pikiranku sendiri jika fokus pada kekurangan itu. Sebab yang adil adalah memakluminya, karena sekian panjang kelebihan yang ia tawarkan bagi kehidupan kami.
Lalu aku pun menengok pada anggota keluarga yang lain. Kiranya sama pula yang ku temukan. Tiap orang punya lebih dan kurang. Namun jika kita jernih melihat, maka yang lebih itu demikian banyak, dan akhirnya membuat yang kurang rela tuk kita maklumi. Sekali lagi, yang kurang itu tetap nyata. Sesekali kita tetap terganggu karenanya. Namun tak lama, kita harus menerima bahwa lebihnya lebih banyak. Dan tak adil jika kita tak mensyukurinya.
Di titik ini lahirlah simpulanku sependek ini. Bahwa cinta itu soal meluaskan peta. Ya. Orang yang ada di hadapan kita itu seperti itu lah adanya. Segala gerak lakunya netral saja. Peta kita lah yang menentukan reaksi kita terhadapnya. Ketika peta ini diperluas, diperdetil, diperlengkapi dengan data-data, reaksi kita takkan pernah sama lagi. Padahal data itu mungkin bukanlah data baru. Ia sudah ada selama ini. Hanya masa pandemi ini rupanya memaksa kita untuk lebih sering memperluas peta.
Jika sudah begini, mencintai berarti adalah tentang keputusan. Aplikasi dalam ponsel kita itu kadang memberi notifikasi adanya pembaruan. Namun sampai kita mengambil keputusan untuk mengunduhnya, dan mengambil waktu memperbaruinya, pembaruan itu hanya tersimpan saja di sana. Perbaruilah terus petamu, wahai diri, akan orang-orang yang penting bagimu. Pikiranmu, bukan apa adanya mereka, yang menghadirkan kebahagiaan.