Bukan. Aku tak sedang menafikan bahwa ada yang kesusahan di masa ini. Kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, kehilangan keluarga, kehilangan kebebasan. Aku hanya ingin menelaah bagaimana ajaran “bersama kesulitan, ada kemudahan” sedang bekerja.
Ya, kesulitan dan kemudahan sejak dulu selalu berjalan beriringan. Dua sisi dari mata uang yang sama. Bahkan lama ku pahami makna bahwa tiap kita memiliki pekerjaan, adalah sebab adanya kesulitan yang dimiliki oleh orang lain. Jadi, ungkapan, “bahagia di atas penderitaan orang lain” itu tak selalu buruk. Dokter mendapatkan penghasilan karena selalu ada orang yang sakit. Guru mendapatkan penghasilan karena selalu ada anak yang butuh dibimbing untuk belajar. Sekiranya seluruh penduduk bumi ini sehat, tentu tak perlu dokter. Sekiranya semua anak mandiri belajar sendiri, apalagi di era digital ini, tentu tak hadir guru.
Nah, masa ini adalah anugerah, terutama karena ada banyak hal yang tiba-tiba menemukan ruangnya. Milenium ketiga telah memaksa kita tuk bergerak lebih cepat, dan menjadikan kecepatan sebagai mata uang baru. Belajar cepat, menjual cepat, mendapat jodoh cepat, turun berat badan cepat, inovasi cepat, pertumbuhan cepat, dan rupa-rupa lain yang cepat. Seolah tak ada nilai pada kelambatan. Jika bayi bisa dilahirkan lebih cepat, mungkin banyak yang rela tuk membayarnya.
Masa pandemi ini memaksa kita untuk mengurangi kecepatan. Sehingga tiba-tiba banyak ruang yang—sebenarnya—tiba-tiba jadi tersedia. Ada yang menemukan waktu tuk berkebun, memasak, membaca, bercengkerama, berolahraga, bercanda, dan lain sebagainya. Berbagai kegiatan yang kemarin-kemarin tak mendapatkan tempat semestinya, padahal kita memerlukannya.
Aku baru menyadari, bahwa ketika aku tak menyentuh HP selama 30 menit saja, aku bisa membaca 30 halaman. Itu membaca dengan kecepatan sedang. Maka jika aktivitas itu ku jalankan setiap hari, dalam 10 hari ku habiskan 1 buku seukuran 300an halaman. Sebulan kuhabiskan 3 buku. Setahun ku habiskan 36 buku. Setara dengan dua baris rak buku di rumahku.
Kala ku hitung lagi, dalam 30 menit aku berjalan kaki di pagi hari, tercapai jarak kekira 2,5 km. Dalam 10 hari 25 km. Dalam sebulan 75 km. Dalam setahun 900 km. Tentu akan berbeda kondisi tubuhku, yang dilatih 900 km dalam setahun, dibandingkan tak dilatih sama sekali.
Saat tulisan ini dibuat, Jakarta sedang menjalani PSBB kedua. Masjid di komplek rumah ku pun ditutup lagi. Jadilah kami sekeluarga shalat di rumah. Lalu baru ku sadari, bahwa aku terlalu lama shalat dengan terburu-buru. Shalat di rumah, tak relevan keburu-buruan itu. Membaca bacaan shalat dengan jumlah standar, namun dengan kecepatan yang direndahkan, dan gerakan yang ditenangkan, terasa hadir kenikmatan yang sungguh telah terlalu lama hilang dari kewajiban ini.
Masa ini seolah mengajarkan kembali bahwa setiap waktu ada aktivitasnya, dan setiap aktivitas ada waktunya. Kita perlu kerja, tapi kita juga perlu istirahat. Kita perlu berusaha, tapi kita juga perlu menikmati doa. Kita perlu bicara, tapi kita juga perlu hening. Kita perlu bercengkerama, tapi kita juga perlu sendirian. Kita perlu makan, tapi kita juga perlu menahan. Kita perlu hiburan, tapi kita juga perlu menyungguhi pekerjaan.
Terlalu lama, sepertinya, kita hidup dalam cengkeraman gambaran sepihak tentang kesuksesan dan kebahagiaan. Bahwa semuanya adalah tentang uang. Bahwa kesuksesan berkorelasi dengan kecepatan. Masa ini memaksa kita tuk merenungkan itu semua, dan menata kembali hidup agar kembali pada desain yang semestinya.
Jika nyawa ini diambil, kita sudah meninggalkan kebaikan apa?
Jika pekerjaan ini diambil, kita bisa berkontribusi lagi apa?
Jika harta ini pergi, hakikatnya kita memiliki apa?
Lalu perlahan-lahan, anugerah yang telah lama tak dianggap itu tampak di hadapan.