Tahun ini kita belajar, bahwa tak ada yang benar-benar bernama kepastian.
Kepastian hanyalah keinginan kita. Keinginan yang sudah ada sejak ayahanda kita Adam dulu digoda dengan keinginan menggapai keabadian. Namun kini kita sedang berada di dunia, dan tugas kita bekerja memakmurkannya. Sedang hakikat pekerjaan itu sendiri adalah ujian. Selalu ada kesenjangan antara apa yang terjadi kini dan apa yang dikehendaki. Maka masalah adalah ruang kita bekerja. Tak ada masalah, tak ada pekerjaan. Kita dipekerjakan karena masalah itu ada. Dan kita tetap memiliki pekerjaan, selama masalah itu ada. Mengharapkan sirnanya masalah sama sekali, berarti sama dengan mengharapkan hilangnya pekerjaan kita nanti.
Maka ketidakpastian adalah keniscayaan. Baru saja di akhir tahun 2019, berbagai prediksi mengungkapkan optimisme. Tak sampai 3 bulan, semuanya direvisi. Tak tanggung-tanggung pula, prediksi kemunduran—setidaknya dari sisi ekonomi—masih akan memerlukan waktu untuk berangsung pulih hingga memakan waktu beberapa tahun ke depan. Ya, beberapa tahun, 3 tahun atau lebih, bukan 1 atau 2 tahun saja. Segala kepastian yang kita harapkan itu sirna. Atau, setidaknya, seolah-olah sirna. Mengapa seolah-olah? Sebab jika direnungkan lebih dalam, sejatinya ia tak benar-benar ada. Kita tak benar-benar bisa memprediksi sebuah kepastian. Kita hanya berusaha membaca masa lalu, lalu berharap ada pola yang sama di masa depan. Namun seringnya, kita menganggap harapan itu sebagai sebenar-benarnya kenyataan.
Tapi kala ditelisik lebih jauh, kepastian itu sebenarnya ada. Hanya saja, ia tak seperti yang kita kira. Aku teringat kebijaksanaan dari Stephen R. Covey, bahwa setidaknya ada 3 hal yang pasti di dunia ini.
Pertama, kepastian bahwa perubahan itu akan selalu ada. Ada perubahan ke arah yang lebih baik, ada perubahan ke arah yang lebih buruk. Tak ada yang menjamin arahnya. Namun perubahan itu sendiri sebuah kepastian. Sebab perubahan itulah tanda adanya kehidupan. Tanda kehidupan adalah pergerakan. Dan pergerakan berarti perubahan. Menariknya, tiap perubahan sebenarnya selalu memiliki setidaknya 2 sisi. Perubahan dari kondisi sehat ke sakit, memang bisa dipandang sebagai hal buruk. Namun ia bisa pula dipandang sebagai cara tubuh mengajari kita untuk mensyukuri kesehatan, sembari mengevaluasi gaya hidup. Adanya orang yang sakit juga telah membuka jalan penghidupan bagi sekian banyak profesi. Maka kepastian pertama ini mengantarkan kita pada kepastian…
Kedua, yaitu kepastian bahwa kita memiliki pilihan. Perubahan sebenarnya hanyalah stimulus yang datang pada kita. Sedang kita memiliki kemampuan untuk memilih respons. Ruang untuk merenung dan menentukan apa yang akan kita pikirkan, rasakan, dan lakukan. Adakah sakit kita pikir sebagai sebuah ruang perbaikan? Jika demikian, apa yang kita rasakan? Dan karenanya, apa yang akan kita lakukan? Sebab tanpa dipilih secara sadar, ketiganya akan dipilihkan oleh keadaan. Orang yang terkena PHK, misalnya, lalu tak segera memilih makna dalam pikirannya, mungkin akan mengikuti makna yang berseliweran di sekitarnya, “Duh, kasian ya, nasibnya begitu. Kok tega ya perusahaanya. Gimana nasib anak-anaknya.” Apa kira-kira perasaan yang terpicu? Dan apa pula kiranya tindakan yang akan diambil jika ia biarkan pikiran itu bertahan? Karenanya, kesadaran bahwa ia memiliki pilihan akan amat membantunya untuk segera memilih makna bahwa mungkin itu saatnya untuk membangun karir baru, yang tentunya perlu proses, namun berpotensi menjadikan hidupnya jauh lebih baik. Bersama kesulitan, ada kemudahan.
Nah, kalimat terakhir itu, rupanya amat banyak dalam kehidupan ini. Kalimat-kalimat yang berisi kaidah-kaidah kehidupan. Itulah yang disebut sebagai kepastian…
Ketiga, kepastian bahwa ada prinsip-prinsip dalam kehidupan ini. Ada aturan-aturan dan hukum alam yang kala kita selaraskan diri kita kepadanya, akan selamatlah kita. Misalnya, dalam dunia bisnis. Ada sebuah prinsip menarik dalam bisnis bahwa, “The purpose of the business is to serve the society.” Tujuan bisnis sejatinya adalah melayani kebutuhan masyarakat. Benar juga ya. Ada perusahaan miliki negara yang secara pelayanan masih jauh dari baik, namun karena ia masih melayani kebutuhan masyarakat, maka ia masih bertahan pula. Produknya tidak—atau belum—ada yang inovatif. Namun karena kebutuhan masyarakat masih terpenuhi, mereka masih hidup hingga kini. Sebaliknya, perusahaan yang tutup adalah mereka yang tak sanggup melayani kebutuhan masyarakat yang berubah. Apa yang mereka produksi tak lagi dibutuhkan oleh masyarakat, karena ada yang lebih baik. Menyelaraskan diri dengan prinsip ini, maka bisnis yang sedang suffer bisa segera mengambil pilihan untuk membaca ulang kebutuhan masyarakat. Simpan dulu produk yang dimiliki, dan baca apa yang menjadi kesulitan masyarakat, lalu coba lah untuk melayaninya. Tentu perlu waktu, tapi kepekaan terus-menerus untuk memahami kebutuhan itu dengan lebih baik akan membuka peluang-peluang baru.
Mengikuti ketiga kepastian ini, sejatinya penuh dengan ketidakpastian. Namun inilah sebaik-baik kepastian yang bisa kita harapkan. Di luar itu, semuanya hanya harapan. Harapan itu penting, namun mengandung ketidakpastian, dan keberuntungan. Dan keberuntungan, hanya berpihak pada mereka yang cermat membaca keadaan, dan terus melakukan persiapan.