Sebuah pertanyaan menarik muncul di grup Alumni Belajar NLP Online:
“Bagaimana pendapat teman-teman tentang berutang?”
Mulanya, aku tak ingin menjawab, atau bahkan mengomentari. Sebab grup ini memang tidak punya kepentingan membahas itu. Banyak referensi lain yang lebih valid. Apalagi, kami di grup ini tak punya kompetensi soal ini. Namun tak lama berselang, aku terpikir sesuatu. Jangan-jangan, persoalan utang ini memang bisa dibahas dari sisi NLP.
Jadilah diskusi kami berkembang, mencoba membedah utang dengan menggunakan NLL alias Neuro-Logical Level.
Jika ditelaah, maka utang berada di level Perilaku. Perilaku berutang. Pertanyaannya, dari mana datangnya perilaku ini?
Dari sudut pandang NLL, tentu ia berasal atau dikendalikan oleh level Kemampuan. Seseorang berutang karena memiliki kemampuan untuk mengajukan dan membayar utang.
Ah, tapi bukankah ada orang yang sebenarnya tak mampu membayar, namun tetap mengajukan utang?
Nah, di sini nih masalahnya. Dalam NLL, level Kemampuan, dikendalikan oleh level Keyakinan. Keyakinan, mudahnya didefinisikan sebagai sesuatu yang dianggap benar. Dianggap, berarti, ia bisa benar-benar benar, atau bisa juga tidak. Maka jadi masuk akal, mengapa ada orang yang sebenarnya tak punya kemampuan membayar, tapi tetap berutang? Ya karena ia memiliki keyakinan yang ia anggap benar, bahwa ia mampu membayar. Atau suatu saat toh akan terbayar juga, entah bagaimana caranya. Jadi kemampuan yang dimiliki, yang menggerakkan perilaku berutangnya, sejatinya adalah kemampuan semu, yang dikelabui oleh keyakinannya.
Tapi tak berhenti sampai di sini. Level keyakinan, kiranya masih dikendalikan lagi oleh level Identitas diri. Di titik inilah diskusi di grup mulai agak menohok. Identitas diri, adalah cara kita memandang diri. Maka pertanyaan yang perlu diajukan pada orang yang berutang adalah, “Mengapa berutang?” Mungkin tak jadi soal jika utang itu sesuatu yang diperlukan. Tapi untuk sesuatu yang tak benar-benar diperlukan, misalnya berutang untuk membeli HP merek tertentu, mengapa itu dilakukan? Ada apa dengan merek itu? Mengapa harus berutang untuk membeli rumah jenis itu? Mengapa tidak jenis lain? Mengapa harus membeli rumah dengan berutang, tidak menunggu saja sampai benar-benar memiliki uang tunai?
Sampai di urusan rumah ini ada kawan yang berpendapat, “Ya agar bisa hidup mandiri. Lepas dari orang tua. Biar ga malu.”
Pertanyaannya lagi, mengapa malu? Mengapa harus lepas? Tidak bisakah tetap tinggal bersama orang tua namun sekaligus mandiri? Bukankah Nabi Musa as tinggal bertahun-tahun di rumah mertuanya? Hehe..
Di titik ini, kita bisa menyadari bahwa identitas diri ini sungguh kerap diadopsi tanpa disadari. Di era bahwa apa yang kita miliki mendefinisikan diri kita ini, orang akhirnya terobsesi untuk memiliki sesuatu, sebab sesuatu itu merupakan identitas dirinya. Orang yang kreatif merasa perlu menggunakna laptop merek tertentu. Agar dianggap milenial maka perlu membeli pakaian gaya tertentu, meski dengan cicilan kartu kredit. Makan pun perlu di mal, karena ada citra diri yang diadopsi tanpa disadari, meski konsekuensinya perlu membayar dengan cicilan lagi.
Lebih tinggi lagi, level Identitas kiranya dikendalikan oleh level Spiritualitas. Apa keyakinan yang dimiliki oleh orang yang berutang tentang hidup? Tentang Tuhan? Tentang misi? Mengapa perlu berutang membeli HP, dan tidak memilih percaya bahwa begitu mudah bagi Tuhan memberi kita kemampuan memilikinya tanpa mencicil? Apa misi dalam hidup yang dimiliki sehingga memilih menggunakan uang untuk mencicil kredit sepatu, baju, dan bukannya untuk hal lain yang lebih bermanfaat?
Jleb. Jleb. Jleb.
Di luar soal hukum berutang, rupanya ada persoalan yang lebih mendasar. Tanpa disadari seseorang kerap mengadopsi keyakinan, pemikiran, ideologi, misi, yang disodorkan oleh masyarakat, produsen, lingkungan. Ia terperangkap dalam pemikiran, lalu menghabiskan hidupnya untuk membayar cicilan yang entah untuk apa.
Di titik inilah kita perlu rajin-rajin mengambil jarak dengan diri. Mengambil disosiasi, menurut NLP. Adakah perilaku kita hasil dari pemikiran, keyakinan, identitas, yang sudah kita validasi? Jika tidak, maka putuskanlah untuk menggantinya. Mengubahnya sesuai dengan kehidupan yang ingin dan perlu kita jalani.
Pertanyaan baru pun mengemuka di grup, “Kalau begitu, bagaimana memastikan kita mengadopsi keyakinan yang tepat?”
Nah, itulah mungkin sebabnya, kita diajari dengan berbagai kisah kesuksesan dengan beragam definisinya. Para nabi, misalnya, sungguh tak memiliki ciri-ciri yang sama. Ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang berumur panjang, ada yang pendek. Ada yang tampan, ada yang dilanda penyakit. Ada yang memimpin kerajaan besar dengan kemewahan, ada yang memimpin negeri kecil dengan kesederhanaan. Ada yang doanya langsung dikabulkan, ada yang ratusan tahun kemudian. Ada yang orang tuanya lengkap, ada yang ditinggal sejak kecil. Ada yang hidup serumah, ada yang LDR.
Sungguh tak ada deskripsi yang sama di tataran fisik, materi. Yang sama ialah deskripsi di tataran misi. Kehidupan seperti apa yang menjadi tugas diri, dan perlu dijalani. Kenali. Temukan. Lalu bangun kesuksesan berdasarkan itu.