Apa yang Lebih? Apa yang Datang?

Teramat wajar di masa pandemi ini, kita bersedih atas apa yang hilang. Pekerjaan yang hilang. Pelanggan yang hilang. Penghasilan yang hilang. Kesenangan yang hilang. Hasrat alamiah kita memang menginginkan lebih, bukan kurang. Maka kala ada yang berkurang, hasrat ini kehilangan pemuasnya. 

Tapi jika dicermati, tabiat hasrat tak dipuaskan dengan hal yang benar-benar bersifat fisik. Bukan makanan yang memuaskan hasrat, tapi makna dari makanan itu. Buktinya, selera tiap orang bisa berbeda, padahal yang dibutuhkan tubuh dari makanan adalah gizinya. Artinya, selama sesuatu bergizi, harusnya tiap orang akan sama-sama bisa menikmatinya. Toh, tak semua yang bergizi bisa dinikmati. Dan tak semua yang dinikmati, bergizi. 

Maka yang memuaskan hasrat itu bukan ayam yang digoreng, melainkan ayam yang digoreng dengan cara tertentu dan diberi merek tertentu. Yang memuaskan hasrat itu bukan secangkir kopi, tapi secangkir kopi yang dibeli di sebuah kafe dengan label tertentu. Yang memuaskan hasrat itu bukan film dengan cerita di dalamnya, tapi film yang ditonton di sebuah tempat bernama bioskop. 

Ini berita bagus sebenarnya. Sebab hasrat dipuaskan oleh makna, maka ka bisa dibuat dalam pikiran. Ia tak perlu repot-repot dibeli dengan uang. Dan apa yang ada dalam pikiran adalah apa-apa yang kita izinkan untuk eksis di dalamnya—apa-apa yang kita buka pintu kepadanya. Meminjam sebuah nasihat bijak, “Energy flows, where attention goes.” Energi kita mengalir, ke mana pikiran kita arahkan. Apa-apa yang kita arahkan pikiran kita kepadanya, akan hadir dalam kesadaran, dan karenanya mampu mempengaruhi perasaan. 

Maka di penghujung tahun ini, setelah sekian bulan kita menjalani masa pandemi, dengan sekian banyak hal yang kita anggap hilang, mari kita sejenak menghadapkan pikiran pada hal-hal yang terlewat selama ini.  

  • Berapa banyak waktu yang telah kita gunakan untuk hal-hal baru?
  • Apa saja keahlian baru yang kita pelajari dan kuasai?
  • Hubungan-hubungan mana saja yang kita perkuat dan perbaiki? 
  • Siapa saja teman-teman baru yang kita kenal? 
  • Ibadah apa saja yang jadi bisa kita jalani? 
  • Kebiasaan baru apa yang mulai kita miliki? 

Tenang. Jawab satu per satu. Dan tak perlu kuatir jika belum bertemu. Ia bisa jadi ada, namun kita belum sadari. Pun jika tak ada, dan kiranya penting, mungkin bisa kita mulai saat ini. 

Berbagai hal datang dan pergi. Tapi toh ia masih ada di dunia ini. Jadi kepergiannya masih ada di sini jua. Perginya sesuatu kerapkali merupakan jalan tuk memberi ruang pada yang baru. Yang kita ternyata memerlukannya. Atau ia yang memerlukan kita. 

Buku-buku di rumahku, misalnya, tak menemukan waktu untuk dirapikan jika tak ada pandemi ini. Aku memerlukan kerapian itu untuk memuaskanku. Mereka memerlukan waktuku untuk merapikannya. Ide-ide dalam tulisan ini pun demikian. Ia ada di suatu tempat. Namun berkat masa pandemi ini, ia menemukan ruang dan waktu untuk mewujud dalam rangkaian kata dan kalimat. Lalu menemukan jalannya untuk bertemu denganmu, di ruang kesadaranmu. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *