Kecemasan, adalah penanda tuk bertanya ke dalam diri: adakah aku masih relevan?
Di masa penuh ketidakpastian seperti pandemi ini, kecemasan sering hadir tanpa diundang. Dan sebagaimana tabiat setiap perasaan, ia dipicu oleh pikiran. Karenanya, kala rasa cemas melanda, ia sebenarnya adalah momen tepat untuk menelaah apa sebenarnya yang sedang ada di pikiran. Dalam konteks bisnis dan pekerjaan, mungkin pikiran penyebabnya 2: kehilangan pekerjaan dan kehilangan pelanggan. Ditambah dengan berbagai berita tentang perusahaan yang melakukan PHK bahkan hingga tutup sama sekali, hal ini teramat wajar.
Di titik ini aku teringat sebuah nasihat bijak yang mengatakan bahwa hakikat dasar dari sebuah tugas pekerjaan adalah ia tak memiliki hak untuk eksis.
Maksudnya?
Mari kita lihat. Saat sebuah bisnis baru dirintis, maka sang pendiri adalah CEO, alias Chief Everything Officer. Semua hal ia kerjakan sendiri, sampai di satu masa pekerjaan dan pendapatan sudah sedemikian banyak untuk ditangani sendiri, barulaha ia akan merekruit karyawan. Satu orang. Kapan ia merekruit orang kedua? Mirip, yakni hanya ketika pekerjaan dan pendapatan sudah terlalu banyak untuk ditangani oleh dirinya dan karyawan pertama. Jadi, pekerjaan mendahului orang. Fungsi mendahului organisasi. Dengan kata lain, kita diperlukan kala ada pekerjaan. Ketika pekerjaan tak ada, kita pun jadi tak berhak ada. Maka dari itu, agar kita terus ada, pekerjaan harus terus ada.
Nah, di sinilah muncul hal menarik. Sebenarnya, pekerjaan itu kerap masih selalu ada. Namun, adakah kita memiliki kemampuan untuk menjalankannya?
Contoh, pekerjaan collection di bank. Saat pandemi yang tak memungkinkan untuk menagih tatap muka, kan pekerjaan itu tetap ada. Utang tetap harus ditagih, bahkan lebih sungguh-sungguh dari sebelumnya, sebab mereka yang tadinya memiliki kesanggupan membayar tibat-tiba bisa kehilangan kemampuan. Namun cara menagih gaya standar ala tatap muka tiba-tiba tidak relevan. Penagihan harus dilakukan dengan cara selain itu. Pekerjaaanya ada, tapi keterampilannya belum ada. Siapa debt collector yang masih akan memiliki pekerjaan? Ya, mereka yang memiliki keterampilan penagihan tanpa tatap muka itu. Baik keterampilan ini telah mereka pelajari sebelumnya, atau buru-buru mereka pelajari di masa pandemi ini. Mereka yang telah terampil tentu tak terlalu cemas. Mereka yang belum terampil lah yang kecemasannya akan lebih tinggi.
Maka kecemasan yang kita rasakan terhadap pekerjaan, sebenarnya adalah penanda yang baik akan relevansi diri ini: Adakah keahlian yang kita miliki masih membuat kita akan memiliki pekerjaan, atau ia tiba-tiba tak relevan dan perlu dikembangkan?
Di awal pandemi, istriku pernah berujar, “Alhamdulillah kita masih memiliki pekerjaan. Tapi jika tiba-tiba ia hilang, apa ya yang bisa ku lakukan? Oh, mungkin bisa berjualan makanan, kan jadi makin terampil memasak macam-macam.” Kecemasan itu ada, tapi setidaknya ada obatnya. Tentu ia akan lebih kuat jika sudah ada keterampilan lain sebagai pendukung, misalnya, keterampilan memasarkan dan menjual sehingga keterampilan memasak itu bisa berubah menjadi usaha catering. Semakin banyak keterampilan yang dikuasai, semakin kecemasan kan terkendali. Ia mungkin tak hilang sepenuhnya. Sebab ia memang adalah penanda perlunya kita tuk terus membuka mata.
Jadi, masih di masa pandemi, di akhir tahun ini, seberapa tinggikah kecemasanmu? Jika ia cukup tinggi, obati dengan menelaah diri: Keahlian apa saja yang bisa ku bangun mulai saat ini? Bagaimana atau pada siapa aku bisa belajar?