Korupsi di Masa Pandemi?

Sengaja ku bubuhkan tanda tanya pada judul, untuk menunjukkan sebuah keheranan. Pandemi dahsyat yang berdampak global ini, dari negara besar hingga kecil, dari kota hingga desa, menyelusup ke kelurahan, RT hingga rumah ini, rupanya tak memotong sedikit juga kisah korupsi. Korupsi yang dana yang ditujukan oleh mereka yang membutuhkan pula. Apa yang ada di pikiran koruptor itu? Tidakkah ia memiliki empati? Atau setidaknya, kok terpikir ya? 

Sungguh tak masuk akalku jika jawaban ini ku cari dari pikiranku sendiri. Sebab pikiran ini berasal dari sudut pandangku sendiri. Aku tak ada di posisi yang memungkinkan untuk korupsi dana besar itu. Maka aku curiga, adakah aku akan sanggup tak melakukannya jika ada di posisi itu? Bukankah deretan nama-nama koruptor di masa-masa kemarin sebagian adalah nama-nama yang sama dengan mereka yang pernah menjadi aktivis? 

Maka ku putuskan untuk tak melihat korupsi ini satu demi satu, kasus demi kasus. Aku ajak diriku untuk melayang tinggi, menjadi pengamat dari sekian banyak orang di negeri ini. Tempat lahirnya para koruptor itu. Ya, negeri ini yang melahirkan mereka. Negeri ini yang mendidik mereka. Mereka tak lahir tiba-tiba, dari kevakuman semata. Mereka hidup, besar, dari apa yang mereka alami di negeri ini. 

Ya, jika kita lihat korupsi sebagai tindakan, dan tak melihat angka besarannya, maka ia memang ada di mana-mana. Begitu mudah kita untuk menemukan celah mendapatkan keuntungan tanpa peduli kepentingan banyak orang. Tanpa berpikir bahwa yang kita ambil itu tak pernah menjadi hak kita pribadi. Mengurus izin. Menyelesaikan urusan pelanggaran. Pengadaan barang dan jasa.  Tinggalkan saja dompetmu di sebuah meja di area publik, kecil kemungkinan ia akan tetap di sana utuh dengan isinya. Bahkan urusan pendidikan dan ibadah sekalipun. Tak ada yang kosong. Bahkan hingga soal jalur lalu lintas pun, orang seolah kehilangan kesabaran beberapa menit melalui jalur yang seharusnya, dan rela membahayakan orang lain dengan mengambil yang bukan semestinya.

Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa bangsa ini seolah menganggap semua itu biasa saja? 

Ah, itulah sebabnya. Itu pangkalnya. Biasa saja. 

Semuanya tak pernah dianggap sebagai korupsi. Semuanya dianggap sebagai kewajaran belaka. Sepertinya—asumsiku belaka—tak mungkin seorang koruptor itu berkata pada kawannya, “Mari kita korupsi. Kita ambil yang bukan hak kita, untuk kita nikmati sendiri.” Yang mungkin mereka katakan adalah, “Ya, ini sekedar ungkapan terima kasih. Nanti kalau sudah keluar izinnya, semuanya akan diurus.” Atau jenis kalimat lain yang sedemikian halus dan ambigu. Tak perlu diucapkan, sudah sama-sama tahu. Korupsi bukanlah korupsi. Ia adalah bagian dari kehidupan ini. Bahkan kerap dianggap sebagai bagi-bagi rezeki. Orang yang kebetulan diberi rezeki lebih, sudah sewajarnya lah membagi pada yang lain. 

Di mana kah Tuhan kalau begitu? Tidakkah orang ingat bahwa pada akhirnya tiap hal kan diminta pertanggungjawabannya?

Tak ada. Tuhan tak ada dalam pikiran. Tuhan tak hadir dalam perasaan. Atau, ia telah berganti menjadi tuhan kecil bernama materi. Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, yang telah menjamin kecukupan rezeki, hanya ada di kitab-kitab suci. Ia mungkin dibaca, dikaji, namun tak diresapi. 

Maka pangkal dari semua urusan korupsi ini adalah konsep diri tentang kehidupan. Hidup ini apa? Untuk apa? Mau ke mana? Koruptor besar bukanlah orang miskin. Sebab untuk memegang posisi itu jelas ia mesti berada di kelas sosial ekonomi tinggi. Mengapa ia masih korupsi? Kemungkinan sebab tak memiliki kejelasan tentang hidup apa yang seharusnya ia jalani. Semuanya adalah soal materi. Hidup hanyalah apa yang ada di dunia ini. 

Begitu pula koruptor kecil yang mengambil jalur lalu lintas yang tak seharusnya. Mengapa ia tak peduli pada kemungkinan kan mencelakakan orang lain? Sepertinya sama. Ia tak memiliki kejernihan tentang untuk apa hidup ini, sehingga yang ia pikirkan hanya materi. Time is money. Seberapa detik pun yang bisa ku hemat kan ku ambil, meski itu bukan milikku. Prinsip ekonomi. Modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya. Tanpa peduli dari mana asalnya. 

Fiuh.. 

Apa makna semua ini? 

Ya. Yang kita lihat adalah mereka yang korupsi. Namun yang kita lupa adalah mereka lahir dari rahim ibu pertiwi. Dari negeri yang kita diami ini. Dari masyarakat yang kita hidupi. 

Jadi, mari kita renungi. Agar kita tak menjadi bagian dari mereka. Sekaligus kita bisa menyumbang orang-orang baik dari rumah-rumah kita. Orang-orang yang tak datang tiba-tiba pula. Orang-orang yang dididik sedemikian rupa, dengan tujuan hidup yang paripurna. Mereka mesti memandang hidup jauh ke depan, melampaui usia. Mereka mesti menyadari puncak hidup bukanlah kepuasan hasrat diri, melainkan pelayanan bagi kemanusiaan. 

Dan inilah. Inilah saat tepat untuk menjernhkan itu semua. Saat tak banyak pernak-pernik yang bisa kita lakukan, kita diajak untuk mencermati hal yang esensi. Bahwa kebutuhan diri ini tak banyak. Selebih yang kita inginkan itu, ya, hanya keinginan, bukan kebutuhan. Tak ada kebanggaan dari terpenuhinya keinginan, apalagi dari sumber yang bukan kita usahakan. Kebanggaan sejati adalah saat kita lepas dari keinginan untuk memiliki, dan berpindah menjadi keinginan untuk memberi, dengan hasil yang kita usahakan dari tangan kita sendiri. 

Hidup bukan hanya soal materi. Tapi soal rezeki yang nilainya jauh melebihi itu. Kesehatan. Kebahagiaan. Keharmonisan hubungan. Ketenteraman jiwa. 

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *