“Rumah kini tak mesti mendidik kita. Sebab tontonan masuk dan mendidik pikiran tanpa permisi.”
Mengapa beberapa tahun belakangan kita ribut-ribut pendidikan karakter? Mungkin sebab di dalam hati kita sudah tak tahan dengan bobroknya karakter bangsa, yang tercermin tidak saja di tingkah laku para pemimpin di layar media, tapi juga serampangannya tingkah laku orang di jalanan. Belum lagi di bilik-bilik yang tak kelihatan. Seorang kawan berkisah, bahwa di sebuah negeri, kamar penjara itu serupa hotel. Ada tarifnya. Dan nyata-nyata kalau mau keluar masuk mudah saja.
Ini persoalan rumit. Yang muaranya adalah pada pendidikan. Sebab pendidikan kita amat sedikit memang mendidikkan hal-hal yang akan mencegah dari korupsi. Atau jika dibalik, pendidikan kita masih sedikit fokus pada menjalani hidup yang baik. Tengoklah syarat kelulusan, ia bukan berupa kemampuan untuk menjalani hidup yang baik dan benar.
Namun kala merumuskan pendidikan karakter pun kita galau juga. Pendidikan kita samakan dengan kurikulum, dengan buku. Pendidikan karakter artinya bukunya ganti. Lalu para guru bingung sendiri, bagaimana menilai karakter itu? Sebab keahliannya selama ini memang mengajar sekali jadi. Memberikan materi pembelajaran lalu menilai dalam ujian. Guru belum terbiasa menjadi pengamat pertumbuhan karakter. Melakukan pencatatan hari demi hari. Membedakan satu siswa dengan yang lain dengan teliti. Lalu memberikan bimbingan—pendidikan—atas hal-hal yang belum ia kuasai. Dan kuasai di sini jelas bukan soal kemampuan mengerjakan soal. Sebab yang menjawab dengan benar soal-soal pelajaran kewarganegaraan belum tentu saat dibelikan motor oleh orang tuanya tidak melawan arus—apalagi jika yang berseragam guru pun masih pula suka begitu.
Tapi memang kita memberikan beban terlalu berat pada sekolah. Pendidikan itu, kan, urusan rumah. Mungkin ya, dulu sekali, sekolah itu hanya berisi pengetahuan, karena yang namanya pengalaman adanya di rumah. Sekolah itu tak perlu mengajari soal sopan santun hingga masuk dalam kurikulum, karena ia tanggung jawab orang tua. Adab belajar, yang akan memungkinkan siswa mengambil banyak hikmah dalam semua pelajaran, pada masanya adalah pekerjaan orang tua. Ingat lagu, “Hormati gurumu, sayangi teman”? Dalan lagu tersebut orang tua lah yang berpesan pada anaknya yang akan berangkat sekolah. Ketika seorang anak berperilaku yang tak sesuai karakter yang baik, orang tua meminta maaf dan berjanji akan melakukan perbaikan di rumah.
Bagaimana sekarang?
Wah, sepertinya sudah nggak karu-karuan. Bahkan air minum yang terlambat tersedia di sekolah akan jadi perkara besar di grup WA wali murid. Tanpa sopan santun orang tua bisa komplain japri pada guru anaknya di malam hari, di luar jam kerja. Lupa bahwa guru anaknya adalah gurunya juga, meski kerap lebih muda. Lupa bahwa ia hanya membayar untuk sebagian kerja sang guru, tanpa memperhitungkan bahwa angka itu terlalu kecil untuk usaha sang guru mendidik dirinya bertahun-tahun. Jika orang tua sanggup menjalankan tugas sebagai guru, tentu ia tak perlu membayar, ia kan mengerjakannya sendiri. Kenyataan bahwa ada orang yang bersedia menjadi guru harusnya menjadi utang budi yang takkan pernah bisa terbalas dengan uang sebesar apapun.
Jadi kalau ditarik semua urusan besar itu memang titik awalnya dari rumah. Dan rumah di masa kini, tak mesti mendidik kita warga negara, karena tontonan masuk tanpa permisi. Kita tak mengajarkan etika, dan etika yang datang lewat tontonan itu lah yang kini mengajari anak-anak kita. Mereka tak lagi perlu kursus bahasa Inggris karena setiap hari menonton film tanpa teks. Namun sekaligus mereka serap semua tata budaya yang dikemas apik dalam cerita. Sehingga panggilan pada guru “Bapak” atau “Ibu” telah dengan mudahnya diganti menjadi “You”.
Bukan, aku bukan mengatakan kita tak boleh menonton. Namun budaya tontonan adalah budaya yang mengedepankan citra, sebab itu yang mudah dicerna. Jadi ada jebakan bahwa yang ditangkap dan akhirnya ditiru adalah yang tampak itu. Kita menonton drama Korea, dan segera saja membeli kaosnya, kursus bahasanya, namun tak tertarik untuk menelaah perjuangan bangsanya, pendidikan masyarakatnya. Tontonan hanya menyajikan cerita yang enak diikuti, tapi menghalangi kita untuk mengambil hikmah yang ada di dalamnya. Jika ingin mengambil manfaat dari tontonan, maka kita perlu mendidik diri untuk melampaui citra. Yakni menelusuri ide dibalik tontonan, mendedahnya, mengkategorikannya, membanding-bandingkannya, memilah-milihnya, mana-mana yang perlu kita tiru, dan mana-mana yang kita tinggalkan.
Itu baru soal tontonan yang bentuknya film. Belum tontonan berupa informasi di media sosial. Sungguh ia masuk makin tanpa permisi dalam hitungan detik. Mungkin kesannya, ia hanyalah aktivitas berjoget lucu-lucuan. Namun didesain dengan algoritma canggih, tanpa sadar kita telah membuang waktu puluhan menit untuk mengikuti apa yang disajikan—waktu yang jika dikonversi ke aktivitas yang bermanfaat jelas akan membuat hidup kita jauh lebih bermakna dalam jangka panjang.
Jadi menata ulang rumah kita itu tak hanya soal tatanan fisik—letak kasur, sofa, pajangan, dll. Ia adalah soal menata apa yang ingin kita didikkan dalam rumah. Itu jelas berdasar pada apa yang ingin kita tuju dalam kehidupan. Di dalamnya ada implikasi juga tentang apa yang kita dialogkan. Membiarkan ada tontonan tanpa dialog itu serupa menatap buah yang katanya manis, tapi tak sedikit pun mengupas kulitnya, apalagi menggigit dan mengunyahnya.
Pendidikan karakter itu memang kini mesti kita sengaja. Sebab kita telah terlalu lama tak sengaja membiarkan kehidupan kita dididik oleh budaya yang didesain oleh entah siapa. Budaya citra yang menjadikan kehidupan kita tak bisa beranjak dari selain mengurusi apa yang membuat perut kita kenyang dan penampilan kita necis—namun di dalam hampa. Kita harus ambil kembali kendali karakter ini, dan mengembalikannya pada jalan yang memungkin kita mencapai transendensi.