Menjadi Guru, Menjadi Pembelajar

“Menjadi guru adalah menjadi pembelajar.”

Saya bukan seorang guru, dalam arti profesi resmi. Posisi resmi saya di kantor—jika saya tidak salah ingat, sebab tak pernah menengok-nengok lagi kontrak 9 tahun lalu itu—adalah professional resources. Nama yang hampir tak pernah digunakan di keseharian. Orang-orang seperti saya lebih sering disebut dan menyebut diri sebagai fasilitator. Sebutan yang di luaran lebih populer sebagai trainer. 

Namun demikian, meski tak gemar dipanggil guru—entah mengapa beberapa kawan melakukannya—saya sendiri merasa perlu untuk menempuh jalur keguruan. Dalam arti jalur hidup menjadi seorang guru. Sebab menurut saya, menjadi guru itu setali tiga uang. Sekali mendayung, 2-3 pulau terlampaui. 

Menjadi guru, sepaket dengan menjadi pembelajar. Menjadi pembelajar inilah yang saya gemari. Dan ia merupakan konsekuensi dari menjadi guru. Seorang guru yang berhenti menjadi pembelajar, tak layak menekuni jalan ini. Sementara seorang pembelajar, dalam tugas kepembelajarannya, pastilah harus menyediakan diri sebagai guru, membantu orang lain belajar, demi menemui rahasia-rahasia pengetahuan dan kebijaksanaan, yang hanya bisa ia dapati lewat jalan mengajar. 

Ah, mari kita cermati satu per satu ide ini. 

Menjadi guru adalah menjadi pembelajar. Apa yang akan diajarkan jika seorang guru tak belajar? Sedang belajar itu sendiri bertingkat-tingkat. Ilmu itu berlapis-lapis. Tiada rasa lain yang hadir dalam diri kala menekuni jalan ilmu selain haus yang tanpa henti. Maka saya amat heran, umpamanya, pada guru yang di tasnya tak ada buku. Apa yang ia kerjakan di waktu luangnya? Okelah ini zaman ebook. Kan ada juga berarti buku itu di HP nya. Tapi tak cuma buku. Saya juga heran pada guru yang tak gemar menulis. Menulis itu kan mencatat pemahaman. Jika ia tak gemar mencatat, lalu adakah yang ia pelajari dalam keseharian? Tidakkah ia melakukan evaluasi atas kerjanya? Pemahamannya? Bukankah tiap hari ia menemui kasus yang berbeda? Jika tak dicatat, dari mana ia tahu perbedaannya? Bagaimana ia kan mendapatkan ilmu baru? Pantaslah ia bingung kala ada target membuat penelitian tindakan kelas. Kelasnya sendiri. Yang tiap hari ia geluti. Apa sulitnya? Ya kebiasaan belajar itu. Tak mencatat. Tak membaca. Tak bertanya pula. Tak ada bahan refleksi diri. 

Jadi istilah guru pembelajar itu sebenarnya agak sia-sia. Tapi mungkin sengaja harus demikian. Sebab kegiatan mengajar dan belajar itu kini terpisah dalam keseharian guru. Ia mesti disatukan kembali secara sengaja. 

Menjadi pembelajar itu menjadi guru. Makin kita mendalami sesuatu, makin kan kita temui lapisan-lapisan ilmu yang hanya bisa dilalui lewat proses tertentu. Kita bisa mendapat pengetahuan, misalnya, jika kita bertanya. Tanpa pertanyaan, tak ada pengetahuan. Datang saja ke seminar yang jauh dari bidang kita. Ikuti hingga selesai, tanpa pertanyaan. Berapa banyak yang kita dapat? Nihil. Ilmu itu tersedia, pembukanya adalah bertanya. 

Tapi pemahaman, tak datang lewat pertanyaan. Pemahaman, datang lewat pergumulan pemikiran. Ilmu itu harus dihubung-hubungkan, dibanding-bandingkan dengan apa yang sudah kita tahu, dengan apa yang kita hadapi. Maka yang berkata, “Aku paham, tapi tak bisa menjelaskan” itu tak paham arti kata paham. Jika ia paham, pasti sudah bisa menjelaskan, sebab telah terlewati fase pergumulan pengetahuan itu dalam dirinya. 

Lebih jauh lagi adalah keterampilan. Ia datang lewat latihan. Latihan terus-menerus, yang dinaikkan dosisnya dari waktu ke waktu. Deliberate practice. Latihan yang terbimbing, diberikan masukan oleh yang telah menguasai. Tak ada pengetahuan baru di fase keterampilan. Karena ini adalah fase penyatuan antara pengetahuan-pemahaman dengan tindakan. 

Itu baru keterampilan. Belum keahlian. Menjadi ahli, menariknya, bukan soal menambah pengetahuan. Melainkan menajamkan keterampilan hingga sampai pada titik ketajaman. Sehingga presisi betul dalam melakukan apa, kapan, dengan cara bagaimana. 

Guru yang mumpuni, adalah guru yang menekuni sepanjang jalan ini. Sebagai pembelajar, ia harus mengajar. Sebab mengajar itu adalah caranya untuk mengecek pemahaman. Saat ia melihat orang lain memahami apa yang ia ajarkan, ia melihat ekspresi pemahamannya di diri mereka. Itulah cermin kemampuannya. Murid yang kesulitan adalah cermin guru yang perlu meningkatkan kemampuan. Maka bagi pembelajar, menjadi guru itu bukan pekerjaan, tapi kebutuhan. 

Spread the love

1 thought on “Menjadi Guru, Menjadi Pembelajar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *