“Saat mendengar kata ‘bakat’, pahamilah ia sebagai pertemuan antara anugerah dan kesungguhan.”
Entah sejak kapan aku mendapati bahwa kata ‘bakat’ seolah memiliki makna yang ber inuansa magis. Orang yang berbakat adalah orang yang berbeda, tiada lain, datang tiba-tiba, seolah-olah Tuhan telah menakdirkannya demikian dan tak memberikannya pada yang lain. Para berbakat adalah orang yang unik, bahkan cenderung dianggap aneh pada mulanya.
Namun itu dulu. Kala aku belum menelusuri perjalanan para berbakat. Menelaah sedikit saja kisah hidup salah seorang dari mereka sungguh segera menyadarkanku bahwa nuansa keajaiban itu remeh belaka. Adalah Malcom Gladwell, yang mempopulerkan istilah ‘Aturan 10.000 Jam’. Bahwa para pakar kelas dunia, dalam bidang apapun, adalah mereka yang telah melewati masa latihan selama 10 ribu jam. Dan bukan sekedar latihan, melainkan deliberate practice, yakni latihan yang terus ditingkatkan kualitasnya secara berkala. Pada titik itulah kita kemudian mengatakan dalam keterpesonaan, “Wah, dia benar-benar berbakat!”
Ya, aku pun tersenyum mendapati fakta serupa ini. Kenyataan bahwa para berbakat sejatinya melewati sekian panjang perjalanan membentuk diri sungguh meruntuhkan perkiraanku bahwa bakat adalah keajaiban semata.
Benar bahwa Tuhan menciptakan tiap insan dengan keunikan. Benar pula bahwa Dia menjadikan keunikan itu mulia dan tak terduplikasi oleh orang lain. Namun benar juga bahwa tiap diri mesti membayar harga pencarian dan pengolahan keunikan itu sehingga menjadi sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.
Tak cukup kerja keras untuk menjadi berbakat. Ia harus didahului oleh proses penemuan keunikan. Tapi juga tak cukup menemukan keunikan untuk menjadi berbakat. Ia mesti ditindaklanjuti dengan penggemblengan berkelanjutan.
Maka bakat, adalah pertemuan antara anugerah dan kesungguhan. Tuhan mungkin anugerahkan suara emas, namun jadi tidaknya bakat bernyanyi ditentukan oleh kesungguhan berlatih setelahnya. Tuhan bisa jadi anugerahkan kecakapan memimpin, tapi jadi tidaknya seseorang sebagai pimpinan ditetapkan oleh ketekunannya menempa diri sesudahnya.
Lalu, apakah bisa kita menjadi berbakat dengan bersungguh-sungguh, meski tak punya bakat?
Ah, pertanyaan menggelitik. Penelusuranku sependek ini mengatakan bahwa kerapkali kita baru bisa mengatakan soal bakat jauh setelah kesungguhan itu dijalankan. Sebelum disungguhi, bakat yang indah seringkali belum terlihat.
Nah, bagaimana jika aku telah bersungguh-sungguh namun ternyata bukan itu bakatku?
Pertanyaan yang bagus pula. Ciri-ciri kemungkinan bakat yang kutemukan sederhana: adakah ia menggairahkanmu kala mengerjakannya? Adakah kau bersedia melakukannya terus-menerus meski belum kan tampak hasilnya? Adakah kau mau terus mengulang setiap usaha dari awal meski jatuh berkali-kali?
Jika jawabannya adalah “Ya!”, maka jalani saja. Mungkin saja itu bakatmu. Sebab tak ada para berbakat yang tak mencintai apa yang dilakukannya.