“Ilmu datang sebab kerendahan hati. Keangkuhan adalah dinding tebal penghalang cahaya.”
Teringat kembali sebuah nasihat bijak, bahwa ilmu laksana air, hanya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Untuk menerima kucuran teh, cangkir mesti diletakkan di bawah teko. Sesedikit apapun teh tersisa di teko, kala cangkir bersabar berada di bawahnya, kan mengalir jua mesti setitik. Dan berapa kali kita insafi bahwa setitik air di tengah kehausan adalah surga kenikmatan?
Maka kerendahan hati, adalah pintu masuk aliran ilmu. Pada tiap kejadian ada pelajaran. Namun layaknya pintu, ia menutup cahaya kala tak dibuka. Pelajaran sebaik apapun tak pernah masuk, meski ia serupa tamu yang menunggu. Ya, tamu yang menunggu kan pergi menjauh, tak sudi tuk kembali, jika tak disambut.
Ilmu adalah cahaya. Ia hadir menerangi pikir dan jiwa nan gelap. Tapi sungguh seterang apapun ia menerpa, takkan sanggup merasuk jika dinding keangkuan terlalu tebal. Sebab tabiat dinding memang menutupi. Itulah sebabnya pada dinding diperlukan jendela. Agar cahaya bisa masuk menyibak kegelapan.
Kerendahan hati, adalah kekayaan di jalan ilmu. Di jalan ilmu, guru dan murid adalah pasangan pembelajar. Guru lebih dulu tahu, namun tak mesti lebih cerdas. Murid baru belajar, namun paham bahwa sang guru telah lewati banyak rintangan berisi jutaan hikmah. Guru sejati enggan tuk berada di atas murid, sebab berarti ia mesti bekerja sendiri. Guru sejati membimbing murid tuk menjadi sahabat perjalanan nan sejajar, lalu mengarungi samudera ilmu bersama.