Merenungi sejenak fenomena sekolah berlabel ‘internasional’. Menggunakan kurikulum dari luar negeri, setiap hari berbahasa inggris. Pada saat yang sama, kala bertemu dengan beberapa siswa SMA sekolah serupa ini, mereka bertanya dimana itu kota Kudus? Saat aku memberikan sebuah kuesioner untuk diisi, seorang siswa bertanya, “Kak, apa artinya ‘merangkai’?”
Aku tertegun. Tak kuragukan kefasihan mereka berbahasa inggris. Tak kuragukan kepercayaan diri mereka kala mempresentasikan ide. Tak kuragukan keberanian mereka berbicara pada orang yang lebih tua.
Tapi, ini pula lah masalahnya. Kala bicara pada yang lebih tua, tak kurasakan adab-adab sebagaimana layaknya yang muda. Mereka berwawasan ‘global’, tapi asing dengan negerinya sendiri. Padahal mereka anak-anak asli Indonesia. Ya, bukan anak ekspatriat. Asli Indonesia, ayah dan ibunya.
Lalu apakah guna fasihnya bahasa inggris tanpa adab? Ini tanyaku dalam hati. Adakah ini pendidikan yang seharusnya? Atau kah sekolah serupa ini telah salah jalan, meski gedung dan fasilitasnya mewah? Atau, aku saja kah yang terlalu sempit memandang pendidikan?
Ya, bagiku, ukuran terdidiknya seseorang adalah adabnya. Kesantunannya. Pandainya dalam keilmuan, tingginya dalam keahlian, sirna seketika kala adabnya tak tampak, bahkan berlawanan dengan kebiasaan. Orang pandai bukanlah ia yang canggih menampakkan kepandaiannya. Orang pandai adalah ia yang bijak menyesuaikan cara berperilakunya, cara berbicaranya, cara berpikirnya, dengan siapa ia bicara. Bukanlah kerumitan yang menandakan kepandaian, melainkan kemampuan menyederhanakan yang rumit. Bahkan, kemampuan tuk menahan diri tuk tak membicarakan yang tak bermanfaat.
Adab. Ya, adab. Insan yang kokoh pada adab kan menyerap ilmu dengan mudah. Tanpa adab, banyak ilmu kan menjauh.