Zakariya berdoa, “ Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah, kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu, ya Tuhanku.” (Maryam:4)
Inilah Zakariya. Salah seorang hamba yang diangkat oleh Allah sebagai nabi. Derajat yang sebagaimana kita tahu, menunjukkan keimanan yang tanpa cela, yang sedemikian sempurna. Dan inilah doanya, yang diabadikan agar jadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Doa yang mungkin terdengar asing bagi insan di era ini. Doa yang sebegitu halus dan berbalut kesantunan.
Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah, kepalaku telah dipenuhi uban.
Diakuinya kondisinya. Kondisi tubuh yang melemah seiring usia. Kondisi yang banyak orang mengeluhkan, padahal Dia telah anugerahkan sekian lama kesehatan dan kebugaran. Adakah keluh dalam nada doa Zakariya? Tidak. Sama sekali tidak. Bukan keluh yang keluar dari lisannya. Meski sama keadaannya dengan orang tua lainnya, yang terucap adalah apa yang memang kenyataan belaka: tulang telah lemah, kepala telah dipenuhi uban.
Lalu di sini lah kita. Di derajat yang jauh dari kenabian. Mari bercermin dan mengukur diri. Apa yang terjadi pada diri kita sejatinya adalah takdirNya jua. Maka sungguh lancang jika keluhan yang kita ucapkan, sedang Dia jauh lebih banyak memberikan kenikmatan. Keluhan adalah tanda lemahnya iman. Luputnya diri dari janji bahwa pada tiap kesulitan terdapat kemudahan.
Tengoklah Zakariya, wahai diri. Tengoklah pada doa yang semata menceritakan keadaan, tanpa beban kesengsaraan. Sebab keadaan itu memang takdirNya, sedang kesengsaraan adalah akibat sempitnya pikiran ini memahami skenarioNya. Melemahnya tulang dan memutihnya rambut memang tanda ketuaan. Tapi tiada lah ketuaan itu melainkan kebijaksanaan lahir daripadanya.
Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu, ya Tuhanku.
Lalu minder lah kita pada keimanan Zakariya. Bacalah kembali kisahnya dan kita akan tahu, betapa panjang penantian akan keturunan yang didambakan. Doa Zakariya adalah doa banyak di antara kita. Bukan doa yang aneh. Ia doa yang wajar. Dan di zaman ini, ia lah doa banyak pasangan muda yang diberi banyak kemudahan. Namun beberapa tahun penantian, ditambah dengan beberapa usaha peningkat kesuburan, bukanlah ukuran makin dekat takdirNya. Kita berkehendak, dan Dia pun berkehendak. Dan sebaik-baik kehendak adalah kehendakNya. Lalu siapa kita yang tak sanggup menahan ketuaan ini, hendak memaksaNya? Lalu di mana iman kita yang begitu mudah mengeluh dan berputu asa hanya tersebab menanti beberapa waktu saja?
Di luar soal keturunan pun, ketidaksabaran kita sama belaka. Bahkan terasa menjadi-jadi. Keinginan soal harta, pangkat, kedudukan. Begitu banyak ingin kita raih, begitu sedikit kesabaran kita. Padahal pada Zakariya kita bercermin, bahwa beliau yang nabi saja, diuji dengan kesabaran. Tapi melemahnya tulang, memutihnya rambut, yang menurut ilmu kedokteran berarti menurunnya kemungkinan, justru meluncurkan kalimat mulia, “Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu.”
Duhai, betapa jauh jarak kami darimu, wahai sang nabi. Namun diabadikannya doamu jelas adalah petunjuk bagi kami tuk meneladani sepenuh sungguh. Sebab kami tak melihatNya, kami kira Ia tak mendengar. Lalu di hadapan kami kau seolah bertutur, “Jangan pernah menyerah tuk memohon kepadaNya, sebab Dia tak pernah mengecewakan. Kecewamu adalah akibat lemahnya imanmu, bukan perbuatanNya.”
Maka mari perbaiki iman ini, wahai diri. Sebab atas iman ini kita kan diadili nanti.
Kualitas seseorang, memang bisa dilihat bagaimana beliau berdo’a. Semoga nabi zakariya selalu menjadi inspirasi kita. Aamiin
Amiiin.. terima kasih sudah mampir Mbak Dian..