Work From Home: The Birth or Rebirth?

Wabah COVID 19 dianggap melahirkan pola kerja dari rumah. Sebuah pola yang sejatinya tak baru-baru amat. Sekian profesi telah lama menjalaninya. Tapi memang belum pernah semasif ini. Benar ada industri yang tak memungkinkan untuk itu. Namun setidaknya sekian persen orang bekerja ternyata mungkin tetap bekerja selama dari rumah. Artinya, bisnis bisa meninjau ulang cara mereka beroperasi. Perlukah ruangan sebesar kemarin itu? Perlukah tunjangan transportasi dialihkan ke komunikasi? Perlukah karyawan sebanyak itu? Dan berbagai kemungkinan lain.

Semuanya masih kemungkinan. Kondisi ini pun masih jauh pula dari ideal. Namun sekali kemungkinan tampak dalam pikiran, maka ia kerap menghantui tuk dijadikan kenyataan.

Aku sendiri sudah mulai menikmati kerja dari rumah. Belakangan ini sudah mulai ke kantor. Namun hanya untuk menjalankan aktivitas yang fasilitasnya lebih bagus di sana. Selebihnya, justru disarankan di rumah saja, karena terasa lebih produktif. Perjalanan pulang pergi bagi kami orang Jakarta ini sungguh lebih layak dikonversi ke aktivitas lain yang lebih berfaedah. Istriku sama sekali belum pernah ke kantor sejak PSBB diberlakukan. Dan produktivitasnya sama sekali tak terpengaruh. Bahkan kalau dilihat dari sisi dirinya secara utuh, jauh lebih produktif. Kerjaan beres, masak pun beres. Sesuatu yang dulu merupakan kemewahan.

Tapi omong-omong, adakah wabah ini melahirkan kerja dari rumah? Atau sebaliknya? Ia sudah ada sejak dulu. Tidak saja bagi sebagian orang, tapi justru merupakan kenormalan orang kebanyakan. Bukankah di masa lalu kita tinggal di rumah, lalu memenuhi kebutuhan hidup dari apa yang ada di sekeliling? Lalu seiring perkembangan zaman, sumber daya yang tersedia makin terbatas di sekitar rumah. Orang pun meski pergi ke tempat lain yang punya sumber daya lebih melimpah, dan membawanya kembali ke rumah. Maka kerja dari rumah pun perlahan ditinggalkan. Kerja itu di luar rumah. Kalau di rumah ya bukan sedang bekerja. Rumah itu tempatnya istirahat dan menikmati hasil kerja.

Maka pemisahan kerja dan kehidupan pun dimulai. Kerja itu bukan bagian dari kehidupan. Berlanjut lahir istilah work life balance, keseimbangan hidup dan kerja. Dari istilahnya saja tersirat makna hidup yang bukan kerja, dan kerja yang bukan hidup. Lalu ada yang sangat gemar bekerja, sehingga tak punya kehidupan. Atau ada yang merasa punya kehidupan, hanya ketika tak sedang bekerja. Pekerjaan membuatnya stres, depresi. Kehidupannya lah yang membahagiakan. Work hard, play hard.

Pertanyaannya: benarkah demikian?

Nah, hal-hal ini lah yang membuatku berpikir ulang tentang kerja dan hidup. Kehidupan itu utuh. Ia mencakup kerja. Apalagi kerja dalam arti luas. Sebab kerja, di masa ini, sungguh telah demikian sempit maknanya. Ibu rumah tangga kerap masih dianggap tak punya pekerjaan. Padahal tiap waktu kerjanya tak pernah usai. Segala yang ia kerjakan, jika dikonversi kepada uang, mungkin takkan sanggup dibayar oleh suaminya.

Pada masanya dulu, ketika sumber daya ada di sekitaran rumah, maka bekerja itulah kehidupan yang biasa saja. Ada tanaman yang bisa dimakan, dipetik, lalu dimasak, dan jadi sumber kehidupan. Ketika sumber daya itu tak ada lagi, atau tak mudah diperoleh, orang pun bekerja guna mencari alat tukar berupa uang, yang bisa digunakan untuk membeli tanaman yang bisa dimakan itu, yang sebenarnya pun ditanam di tempat lain. Si penanam tak menanamnya tuk kehidupannya sendiri semata. Ia menanam tuk dijual kembali.

Jadi sebenarnya, ketika kehidupan itu bisa berjalan dengan apa yang ada di sekitaran rumah, maka bekerja dalam arti yang kita pahami kini tak benar-benar diperlukan.

Persoalannya, kini kerja itu telah makin kompleks. Ia kita lakukan demi mendapatkan tak sekadar kebutuhan pokok. Tapi tumpukan makna lain yang ada di dalamnya. Makanan, misalnya. Bukan sekedar penghilang lapar atau penambah tenaga. Tapi ada prestise, ada hiburan. Maka kita makan di restoran, yang tentu menyisakan biaya lebih besar dibanding memasak sendiri di rumah. Minum kopi, pun demikian. Ia amat murah jika diracik sendiri, dengan bahan pilihan yang kita pesan lewat marketplace. Tapi ada tempat bernama kafe, yang sejatinya bukan lagi menjual kopi, melainkan gaya hidup. Dan penawaran berupa gaya hidup itu tentunya menyisakan biaya yang dimasukkan dalam harga secangkir kopi.

Untuk dua gaya hidup itu saja, makan di restoran dan minum kopi di kafe, jelas kita kemudian perlu bekerja lebih keras. Pulang lebih malam. Lalu tak punya cukup banyak waktu untuk menikmati kehidupan lain, seperti bercengkerama dengan keluarga dan sahabat. Padahal, diri ini tak hanya butuh makan dan minum. Ada energi yang datangnya dari pertemuan dengan orang yang kita sayangi. Ada pula energi yang datangnya dari ibadah khusyuk tak diburu-buru waktu meeting. Ada juga energi yang datangnya dari pikiran yang terasah tajam akibat banyak membaca buku.

Lalu datanglah pandemi ini. Yang memaksa kita tanpa terasa untuk kembali merenungkan ini semua. Kehidupan seperti apa yang sejatinya ingin kita jalani? Pekerjaan seperti apa—jikapun ia masih terpisah—yang sebaiknya kita kerjakan?

Bagi kami orang Jakarta, kerja dari rumah tiba-tiba menghadirkan surplus waktu sekitar 3 jam setiap hari. Ya, 1,5 jam berangkat dan 1,5 jam pulang. Kini kami jadi punya waktu untuk berolahraga. Membereskan rumah. Membaca. Bercengkaram. Pun jika kerja tetap keras, ia bisa segera terisi kembali dengan energi dari interaksi dengan orang-orang yang kita cintai. Pun jika pandemi ini berakhir, setidaknya kami akan berusaha memikirkan agar ia tak hilang begitu saja. Sebab rumah memang dari dulu tempat kita bekerja. Ada masanya sumber daya itu tak tersedia di dekat rumah. Namun teknologi kini sudah memungkinkan kita memangkas jarak dan waktu tuk mendapatkan sumber daya yang jauh itu.

Mungkin ini memang bukan lahirnya kerja dari rumah. Ini adalah lahirnya kembali kerja dari rumah.

Spread the love

2 thoughts on “Work From Home: The Birth or Rebirth?

  1. MasyaAllah, kereen pisaan Mas Teddi.

    Sy juga lagi dalam kecurigaan besar kalau ‘work-life balance’ itu kayaknya gak mungkin karena ada paradigma hidup yang gak tepat deh…

    curigaaa, klo paradigma hidup yang mungkin (conscious or unconsciously) yg kebanyakan org pakai, menjaidkan work atau money-related itu sebagai central of our life…

    sehingga, definisi produktif itu sesuatu yg work or money related….

    gak disebut produktif seseorang yang ‘menghabiskan waktu’ sama orangtuanya misal, hhehe

    just my thought. nuhuun mas Teddi udah bikin tulisan kereen giniiii

    1. Tengkyu udah mampir.. Bener banget. Nilai aktivitas sudah menyempit sedemikian rupa menjadi uang. Dan uang sendiri semakin dipersempit dengan kecepatan. Padahal cinta tak bisa dinilai uang. Cinta tak bisa dicepat-cepatkan. Dan kita jelas butuh cinta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *