“… petunjuk bagi orang yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman pada yang gaib, mendirikan shalat, dan menafkankah sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka..”
Al Baqarah: 3
Sebagai abdi, tugas diri adalah mengabdi. Layaknya karyawan yang mengabdi pada perusahaan, ia kan dievaluasi untuk menentukan kelayakannya untuk tetap dipertahankan. Mereka yang tak memenuhi persyaratan kinerja, mesti bersiap mendapat peringatan, bahkan pemecatan. Sedang mereka yang baik dalam pencapaian, bisa tenang bahkan mendapatkan balasan lebih dari keharusan.
Sudah Allah jelaskan, bahwa ukuran setiap manusia adalah ketakwaan. Bukan apa yang dimiliki yang menentukan keselamatan, melainkan apa yang telah dilakukan, dikontribusikan bagi kehidupan. Inilah kriteria penilaian karya bagi insan yang hidup. Inilah takwa. Untuk itu Dia berikan petunjuk yang terekam detil dalam banyak jiwa, diajarkan dari zaman ke zaman, tak berubah barang satu huruf pun. Diri yang beruntung adalah yang menggunakan petunjuk ini, agar tak sedetik pun waktu terbuang sebab mengerjakan nan tak diperhitungkan. Insan takwa adalah ia yang waspada, serupa karyawan yang memperhatikan betul deskripsi pekerjaan dan peraturan perusahaan. Sebab lain-lain aturan, salah menjalankan, kan berakibat pada teguran.
Namun petunjuk ini, baru lah bisa digunakan, jika diri ini meyakini apa yang tak tampak. Allah itu tak tampak, malaikat itu tak tampak, hari akhir itu tak tampak. Namun meyakini yang tak tampak ini, sungguh kan memberikan perbedaan dalam gerak dan laku. Sebab meyakini yang tak tampak, diri kan waspada. Ia tak bisa melihat, namun ia sedang dilihat. Ia tak bisa menghitung, namun ia sedang dihitung.
Dalam khazanah ilmu layanan prima, ada istilah mistery shopper. Pengunjung pura-pura, yang datang untuk menguji adakah standar layanan dijalankan sebagaimana mestinya. Sang mistery shopper ini datang tak diundang, pulang tak diantar. Tak ada seorang pun mengetahui tiap kali ia datang. Dan inilah sebabnya, tiap karyawan dituntut waspada, tak mengurangi kesungguhan sedetik jua. Karena lalai sedikit saja, kebetulan sang mystery shopper datang, duhai betapa panjang akibatnya. Keyakinan pada datangnya mystery shopper ini, meski hingga akhir mungkin tak pernah ditemui, menghadirkan semangat kerja yang amat berbeda.
Begitulah insan yang meyakini segala yang gaib. Bahwa Allah ada, malaikat ada, hari akhir ada. Allah dan malaikat selalu mengawasi, lebih dekat daripada urat leher sendiri. Hari akhir ada, datangnya tak diketahui, namun ia pasti. Pada hari akhir itulah segalanya dibuka, rekaman CCTV detik demi detik, yang tiap diri kan mengharapkan disegerakan saja.
Maka tak mengherankan, jika perwujudaan dari yakin pada kegaiban adalah mendirikan shalat. Tidak hanya mengerjakan. Mendirikan, berarti menjaga dampak shalat setelah usai ia ditunaikan. Menjaga kualitas shalat itu benar-benar berdiri sepanjang waktu. Jadilah insan yang mendirikan shalat, terlepas dari kebiasaan menyia-nyiakan waktu. Sebab sia-sianya waktu itu tanda runtuh shalatnya.
Begitu pula insan yang yakin pada kegaiban, kan dengan mudah menafkahkan sebagian harta. Apa pasal? Sebab harta itu bukan miliknya. Ia hanya dititipkan, dianugerahkan kepadanya. Ia tak berarti di hari perhitungan, karenanya tak berguna dikumpul-kumpulkan. Guna harta adalah kala ia dinafkahkan. Adalah kebiasaan insan bertakwa tuk mendapat dan habiskan harta pada jalan yang kan membawa keselamatan. Tak sudi ia habiskan harta dalam kesia-siaan, sebab sepeser saja tak sanggup ia pertanggungjawabkan.
Diri ini kan jadi produktif, kala meyakini apa yang tak tampak. Waktu digunakan dengan baik, sebab tiap perilaku dilihat. Uang kan dibelanjakan dengan baik, sebab tiap rupiah kan ditanya. Lebih dari itu, kerja kan sungguh-sungguh, karena tahu sedang diperhatikan. Malu jika ketahuan bermalas-malasan. Karya kan dibuat sesempurna mungkin, oleh karena ia adalah persembahan.