Tertegun ku kala dihadapkan pada ayat 107-109 surat An Nisa’. Begini bunyinya:
“Janganlah kamu berdebat untuk membela orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa. Mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah karena Allah beserta mereka pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridhoiNya Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. Begitulah kamu! Kamu berdebat untuk membela mereka dalam kehidupan dunia ini, tetapi siapa yang akan menentang Allah untuk membela mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka dari azab Allah?”
Larangannya jelas. Jangan lah diri ini sampai membuang waktu, pikiran, tenaga, untuk berdebat demi membela orang-orang yang sejatinya mengkhianati dirinya. Ya, mungkin bukan kita yang berbuat kesalahan. Tapi tersebab rasa sayang, atau kecenderungan nafsu, atau ketidaktahuan kita akan jalan kebenaran, kita menggunakan diri kita untuk menjadi pembela mereka yang berada di jalan keburukan.
Yang benar itu jelas, yang salah itu jelas. Dan yang salah, sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, sejatinya sedang mengkhianati dirinya sendiri. Sebab mereka telah berjanji, bahwa Allah lah Sang Pencipta diri, maka berbuat dosa kepadaNya adalah pengkhianatan yang keji.
Allah tak menyukai mereka, tapi kau membelanya. Lupakah kau, wahai diri, bahwa dirimu adalah ciptaanNya? Luputkah dari ingatanmu, bahwa pada waktunya nanti kau kan kembali, dan kembali itu abadi?
Tapi kau rela untuk mencurahkan tenaga, pikiran, perasaan, waktu, bahkan uangmu untuk membela mereka.
Kurang lebih demikian barangkali maknanya. Maka mestilah kita cermat pada siapa kita berpihak. Sebab keberpihakan bukan hanya soal kata-kata. Ia adalah tanda akan tergabung dalam kelompok mana kah pada akhirnya kelak.
Sisi lain, kala membela, tidak hanya pikiran, hati kita pun terlibat. Dan tanpa sadar, kita mencintai apa yang kita bela. Padahal tabiat cinta adalah ingin dekat, ingin sama, ingin satu dengan yang dibela. Jika yang dibela buruk, benarkah kita ingin dekat dengan keburukan? Sepertinya tidak. Karena kita ingin masuk dalam golongan kebaikan, maka pastikan yang kita bela berada di atas jalannya.
“Tapi kadang buruk dan baik itu tipis batasnya,” katamu.
Mungkin bukan tipis adanya, namun diri ini yang tak jeli melihat kejelasannya. Petunjuk untuk membedakan yang baik dan buruk itu jelas dan terang. Jika kita tak mengenalinya, mungkin ilmu yang perlu ditambah. Perbanyaklah bertanya pada ahlinya, agar tak terombang-ambing dalam ketidaktahuan.
Sungguh merugi, wahai diri, kala waktu yang tak kembali ini digunakan untuk menceburkan diri dalam golongan yang jauh dari keselamatan. Pastikanlah setiap pembelaan adalah untuk mereka yang berada di jalan kebaikan dan kebenaran.