Di Balik Riuh Zonasi
Bukan. Ini bukan analisa ilmiah soal zonasi yang sedang ramai dibicarakan—dan dikeluhkan. Sebab aku tak sedikit pun paham apa duduk perkara jelasnya, apa dasar pemikirannya, apa detil aturannya. Ini hanya sebuah catatan dari secuplik renungan, tentang kejadian zonasi dan beberapa kawan-kawan sejenisnya.
Zonasi menjadi kontroversi. Orang tua utamanya. Pihak yang memprotes mengatakan bahwa mereka merasa dirugikan. Jatah jalur prestasi yang sedikit jadi alasan, sehingga anak-anak mereka tak bisa bersekolah di tempat impian tersebab tak masuk dalam wilayah dekat lokasi rumah. Mereka mungkin sudah bertahun-tahun mempersiapkan hari pendaftaran ini. Dan impian itu sirna seketika peraturan baru diberlakukan. Mesti diterima kenyataan bahwa zona rumah tak menguntungkan. Anak pun harus bersiap bersekolah di tempat yang tak dianggap favorit.
Sementara itu, pihak yang mendukung, sebagian mungkin memang tak punya anak yang sedang berusaha seperti pihak pertama di atas. Sehingga mereka mampu melihat dari atas dan tak terlibat—disosiasi—dan mencoba memahami niat baik di balik keputusan ini. Bahwa zonasi ialah cara untuk menghapuskan tirani sekolah unggulan-tak unggulan. Sebuah cara untuk meratakan kualitas pendidikan. Sebuah metode untuk menghilangkan sekat-sekat tak tampak dalam memandang potensi manusia.
Di mana kah ku berada?
Well, mungkin aku lebih berada pada posisi kedua. Namun aku amat bisa memahami posisi pihak pertama pula. Ini sebabnya.
Ya. Sudah lama aku tak percaya adanya sekolah unggulan. Apalagi jika label sekolah itu masih sekolah negeri. Maaf. Ini bukan pendapat akibat emosi sesaat. Namun opini seseorang yang pernah di dalam, produk dari sistemnya, plus pernah pula beberapa saat berinteraksi dengan para gurunya. Simpulanku sederhana. Tak ada yang namanya sekolah unggulan, jika yang dimaksud adalah sebuah sekolah yang prosesnya demikian prima sehingga siswa yang masuk akan keluar dengan prima pula adanya. Yang disebut sekolah unggulan ialah sekolah yang diseting untuk hanya menerima siswa-siswa yang unggul—baca: pandai dalam hal akademik, sebab kriterianya memang hanya akademik. Jika ada sebuah eksperimen yang mengisi sekolah unggulan jenis ini dengan beragam jenis siswa, tentu kita akan harap-harap cemas menanti hasilnya. Meski sudah bisa diduga.
Jadi, ide tentang adanya sekolah unggulan memang sudah obsolete. Sungguh tak sesuai lagi dengan cara pandang tiap anak punya potensi, yang salah satunya diterjemahkan dengan setidaknya kini kata cerdas bisa dimaknai dengan hingga 8 jenis. Apatah lagi semangat pendidikan yang semakin kembali mengarah pada pendidikan karakter. Maka sekolah unggulan yang menuntut siswa unggulan dengan standar hanya nilai ujian nasional, sungguh amat tidak kompatibel.
Inilah sebab, aku sejatinya mendukung pemerataan kualitas sekolah. Yang kala itu telah terjadi, maka zonasi hanyalah sistem yang menjadi konsekuensi.
Tapi, itu nanti. Bagaimana kini?
Jauh, sungguh teramat jauh. Pelaksanaan zonasi kala kualitas pendidikan masih jauh dari merata, ujug-ujug, ini agak membingungkan. Sekaligus memprihatinkan. Sebab, model kerja serupa ini tak sekali ini saja terjadi. Kita tentu masih ingat bagaimana beberapa tahun lalu para siswa memprotes soal ujian nasional yang dinilai terlalu rumit, lalu belakangan diklarifikasi bahwa soal tersebut merupakan soal yang menggunakan higher order thinking. Bagaimana mungkin kita berharap hasil berupa higher order thinking, sedang istilah itu pun tak pernah tersebut bahkan di ruang-ruang kelas. Apa saja yang sudah dilakukan oleh pemerintah untuk mengkarbit kualitas guru sehingga sanggup memfasilitasi pembelajaran yang mampu menghasilkan higher order thinking? Jauh panggang dari api.
Mundur beberapa tahun sebelumnya, kita temukan implementasi kurikulum 2013 yang konon berbasis karakter dan bermain dengan pola integrasi. Kurikulum diterapkan. Buku diterbitkan. Guru diberi pelatihan beberapa hari dengan kualitas yang dipertanyakan—kupertanyakan, setidaknya—lalu apa yang terjadi? Pembelajaran terintegrasi, katanya, namun nilai di rapor dipilah-pilah pula kembali. Ini serupa sudah mengaduk bubur dengan krupuk, lalu pada saat akan memasukkannya ke dalam mulut, pilah-pilah kembali. Penyebabnya? Guru bingung bagaimana melakukan penilaian. Karena? Ya terbiasa menilai, bukan melakukan assessment. Kebiasaan mengajar puluhan tahun hendak diubah dengan program berkualitas rendah berdurasi 5 hari plus buku yang dibuat secara dadakan.
Apa kesamaan dari semuanya?
Tak lain tak bukan, berharap hasil tanpa peduli pada proses. Terapkan zonasi, nanti kan kualitas naik sendiri. Terapkan soal higher order thinking, nanti kan mikirnya naik sendiri. Terapkan kurikulum integrasi, nanti kan ngajarnya berubah sendiri.
Padahal yang benar ialah, benahi kualitas, lalu terapkan zonasi. Benahi pola belajar, lalu naikkan level berpikir ujian. Benahi kualitas mengajar, lalu terapkan model integrasi. Tapi cara ini tentu tak praktis, terlalu lama, dan tak kelihatan segera hasilnya. Mending ambil keputusan yang cepat—sebab semboyan kerja tiga kali—lalu berhadap pada Tuhan proses akan ikut dengan sendirinya.
Tidak. Bukan. Aku tak sedang mengkritik pemerintah—semata. Aku mengkritik kita semua yang menggunakan pola pikir menyedihkan ini. Sebab ia tak hanya tampak di 3 persoalan tadi. Ia ada di keseharian kita.
Di jalanan yang tak ada polisi. Di keputusan-keputusan bisnis yang tak peduli lingkungan. Di ambisi karir yang tak mengindahkan cara mencapai. Di kecenderungan pilihan nomor pada pilpres dan pilkada. Di diet-diet cara cepat yang tak menimbang efek jangka panjang. Dan rentetan lain kebiasaan masyarakat kita yang seolah rabun jauh—kesulitan melihat dampak masa depan sehingga merasa cukup dengan apa yang tampak di hadapan.
Pemimpin, hanyalah cerminan yang dipimpin. Sebab pemimpin, lahir dari masyarakat yang dipimpin. Maka bagaimana perilaku mereka ialah cermin atas perilaku kita. Keputusan grasa-grusu mereka ialah kebiasaan kita pula.
Lalu bagaimana memperbaiki ini semua? Sembari terus mengkampanyekan dengan jalan yang kita bisa, kita perbaiki dari lingkaran terkecil kita. Dari kesediaan menjalani proses sebelum berharap hasil. Dari kesabaran menikmati langkah-langkah sementara berharap tiba di tujuan. Ajari anak-anak kita tentang nikmatnya hasil baru terasa kala dibayar oleh proses. Didik bahwa rezeki tak selalu kasat mata dan bisa dinilai dengan angka-angka.